menu

Kamis, 16 Mei 2013

Budi Harjana, Loper Koran yang Lejitkan Batik Bantul Hingga ke Jepang

Kehidupan ekonomi keluarga yang sulit memaksa Budi Harjana harus bersekolah sambil bekerja sebagai loper koran. Sebelum bersekolah, ia harus mengayuh sepeda puluhan kilo untuk mengantarkan koran ke para pelanggannya.
Budi Harjana (foto by: Lila Intana)
“Itu pun bukan sepeda milik saya, melainkan milik bos agen koran,” kenang Budi. Sampai suatu ketika, ada salah satu pelanggannya yang berbaik hati menghadiahkan sepeda baru. Bermodalkan sepeda itulah kemudian selepas SMA, Budi memutuskan untuk menjadi penjual geplak (makanan camilan khas Yogyakarta).
“Saya mencari-cari Bantul ini punya potensi apa yang kira-kira bisa saya jual, kemudian saya memutuskan untuk berjualan geplak.”
Budi kemudian mengembangkan pasarnya hingga ke Magelang dan Solo. Yang tadinya dia mengayuh sepeda untuk mengantar koran ke pelanggannya, berubah menjadi loper geplak yang dititipkannya di agen-agen penjual oleh-oleh khas Yogyakarta.
Hingga tahun 1998 terjadi krisis moneter, penyuplai geplak yang dipasarkan Budi gulung tikar. Kemudian ia bertemu salah satu teman yang mengajak kerja sama memasarkan produk kerajinan Yogyakarta ke Bali. Awalnya Budi hanya menyuplai lukisan batik dan ternyata lukisan batik asal Yogyakarta laku keras di Bali. Sayangnya, usaha tersebut harus terhenti, pesanan lukisan batik turun drastis terkait peristiwa Bom Bali tahun 2002.
Setelah melihat menyuplai lukisan batik ke Bali tak lagi menguntungkan, ia kemudian beralih berjualan kain batik. “Di lingkungan tempat tinggal saya, Dusun Karangjoho, Triharjo, Pandak, Bantul, banyak ibu-ibu pembatik, namun belum dikelola dengan baik. Mereka kebanyakan hanya buruh pembatik. Dari situlah saya memutuskan untuk memasarkan batik-batik mereka,” katanya.
Bukan sembarang batik yang dipasarkan Budi, melainkan batik tulis yang menggunakan warna alam. “Kami memaksimalkan sumber daya alam yang ada di daerah kami, seperti tanaman indigofera untuk warna biru, mahoni dan jelawe untuk warna coklat, kuning dari buah mangga, pandan untuk warna hijau dan masih banyak lagi. Asal kita rajin berusaha mengeksplorasi tanaman yang tersedia di alam, maka bahan alami untuk pewarnaan batik tidak sulit didapat,” jelasnya.
Awal usaha berjualan batik dilakoni dari pintu ke pintu, helai per helai batik. Pada akhirnya kegigihan dan kejelian melihat peluang di tambah kualitas batik yang dijualnya, mampu membawa usaha Budi melesat cepat.
Tahun 2003 ada kebijakan pegawai wajib menggunakan batik setiap hari jumat. Budi bergerak cepat, berusaha menembus pesanan ke instansi-instansi di Yogyakarta. “Tiap pagi saya keliling ke kantor-kantor, instansi pemerintahan ke sekolah. Itu saya lakukan terus menerus selama dua tahun,” kenangnya.
Usaha tersebut kemudian berujung sukses. Pasar Yogyakarta berhasil ditaklukkannya, banyak sekolah dan instansi di sana yang menggunakan batik dengan brand namanya, “Batik Bantul Budi Harjana”. Dari awalnya Budi hanya punya tiga pembatik, menjadi lima pembatik dan hingga kini mencapai 25 pembatik.
Pasar yang dirambah Budi pun bukan hanya pasar seputar Bantul dan Yogyakarta, melainkan pasar Bali, Jakarta, kota-kota besar di Indonesia, bahkan hingga ke manca negara seperti Singapura, China dan Jepang. “Di Jakarta kami buka di Thamrin City dan Grand Indonesia,” ujarnya.
Pada 2011 Budi sempat ditunjuk me wakili Indonesia di Shanghai Expo untuk memperkenalkan batik. Selain bisa memperkenalkan batik dan bertemu Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, ternyata ia juga mendapat ilmu yang sangat penting di sana.
“Saya belajar bagaimana mengolah limbah batik dengan sangat baik, yaitu melalui sumur-sumur resapan limbah. Saat ini di lingkungan tempat produksi batik saya tanahnya sangat subur, bisa ditanami berbagai macam tanaman yang juga bisa dimanfaatkan untuk pewarna alami batik.”
Karena sudah bisa mengolah limbahnya secara baik, Batik Bantul Budi Harjana kini tak hanya menjual batik tulis warna alam, namun juga berbagai jenis batik meliputi batik tulis, cap, kombinasi warna alam dan sintetis.
Selain kain batik dan baju batik ia juga menghasilkan berbagai varian produk batik lainnya, seperti jaket, sajadah, sandal, tas, tempat HP dan masih banyak lagi kerajinan menarik lainnya. Bahkan ia menggandeng desainer lokal untuk menggaet segmen yang lebih luas lagi.
Sedangkan untuk motifnya Budi tetap mempertahankan motif klasik seperti Parang, Kawung, di samping mengembangkan motif kontemporer, seperti motif Papua.
“Saya sangat bersyukur, dari awal modal hanya Rp 5 juta itu juga modal pinjaman, saat ini omset dari berjualan batik ini rata-rata mencapai Rp 70 juta,” tambah Budi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kumpul bareng blog

Active Search Results